Tuesday, July 12, 2011

"Bezoek Tapol RMS"

 Pernah di muat di Kolom Bahana Mahasiswa Riau (http://bahanamahasiswa.com/pendapat/kolom/520-bezoek-tapol-rms.html).
 
AGUSTUS lalu saya beruntung dapat kesempatan bertemu dengan tapol Republik Maluku Selatan (RMS) di tiga penjara Jawa: Malang, Kediri, dan Porong. Saya tahu ada tiga penjara lagi dimana tapol RMS dikerangkeng: Nusa Kambangan (Kembang Kuning dan Pasir Putih) dan Semarang. Ini kunjungan kemanusiaan. Saya biasa bantu tapol dengan obat, bacaan dan makanan.

Mulanya, saya bertemu dengan Johan Teterisa (48) di penjara Lowokwaru Malang. Saya bawa kopi, biskuit Tango, beberapa bungkus Indomie, dan bacaan rohani “Renungan Harian.” Saya diminta mengisi nama tahanan dan lama masa penahanan. Tas saya diperiksa. Handphone dan kamera ditahan. Seorang petugas perempuan memeriksa badan saya, meraba-raba dari kaki hingga punggung. Hanya tas dan dompet yang diperbolehkan masuk, termasuk makanan dan minuman, untuk Teterisa dan lima kawan dia.

Saya menunggu Teterisa di ruang tunggu. Mereka berenam tiba. Seragam kaos berkerah warna biru tua dengan tulisan “Tahanan Lembaga Pemasyarakatan Ambon.”

Saya tanya soal kesehatan. Saya juga tanya soal keluarga mereka yang ditinggal di kampung Aboru, Pulau Haruku. Mereka cerita soal sakit kepala, bekas siksaan ketika ditahan pada pertengahan 2007 di Polda Maluku.

Teterisa termasuk satu dari 37 tapol RMS yang dipenjara di Pulau Jawa. Kesalahan mereka? Mengibarkan bendera RMS dengan upacara atau melepas balon ke udara. Teterisa adalah pemimpin dari 28 penari cakalele, mengibarkan bendera, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono datang ke stadion Ambon pada 29 Juni 2007. Pengadilan Ambon menghukum dia seumur hidup dengan pasal makar tuduhan pasal 106 dan 110 KUHP. Belakangan hukuman diturunkan jadi 15 tahun.

Di Ambon, hampir semua penangkapan aktivis tanpa surat penahanan dan mereka diperlakukan dengan kasar. Menurut beberapa tapol, polisi bawa mereka ke Detasemen Khusus 88 Ambon untuk interogasi. Lamanya pemeriksaan bervariasi, mulai dari 3 hingga 14 hari. Kayu, besi, pipa, rokok, bola bilyard, adalah alat yang digunakan untuk menyiksa mereka. Mereka juga dihina. Diminta telanjang hingga celana dalam dan merangkak di jalan umum. Setelah dua minggu, mereka dipindahkan ke tahanan Ambon, lalu menjalani persidangan dan vonis hukuman.

“Kami tidak melakukan kekerasan dalam aksi yang kami lakukan. Kami menuntut kepada pemerintah Republik Indonesia untuk berlaku adil dan jujur terhadap petugas polisi yang melakukan kekerasan kepada kami,” kata Teterisa.

Tanggal 10 Maret 2009, Teterisa dan kawan-kawan dipindahkan ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Menurut Teterisa, setelah mereka dipindahkan ke Jawa, petugas penjara bersikap lebih baik. Mereka tidak diperlakukan dengan kasar seperti di Ambon. Namun Teterisa dan tapol lain terpaksa harus minum air kran karena tidak diberikan air minum. Makanan juga minimal. Mereka jauh dari keluarga. Tak ada satu pun isteri mereka sanggup bezoek ke Jawa. Biaya mahal. Anak-anak banyak kesulitan dengan biaya pendidikan. Drop out sekolah. Ada isteri terpaksa kerja sebagai tukang cuci.

Jhony Sinay (27) di Malang mengeluh karena dia dipukul di kepala sekitar 10 kali dengan pipa ledeng, kayu dan besi. Sinay sering sakit kepala. Pengobatan di klinik penjara Malang kurang baik. ”Saya sudah sering melapor ke bagian klinik tapi obat yang diberikan tidak sesuai dengan sakit kepala. Makanya sering kambuh. Saya berharap bisa dapat izin dan bantuan untuk berobat di dokter ahli dan rumah sakit di luar lapas.”

Tapol lain lagi yang mengalami sakit serius adalah Yosias Sinay (44). Dia disiksa, lehernya ditarik pakai tali, dipukul dengan kayu, balok, dan besi. Dipaksa makan bola bilyard lalu dipukul dan ditekan bolanya. Sinay juga minta bantuan obat dan izin dirawat di rumah sakit dengan penanganan oleh dokter ahli. Di Malang, Kediri dan Porong, saya sering dengar mereka minta dibelikan obat “binahong” atau “pien tze huang.” Ini obat herbal Cina biasa digunakan untuk menghilangkan luka dalam. Namun harganya mahal, Rp 325 ribu satu buah. Orang sakit macam Sinay atau Teterisa bisa memerlukan lima hingga tujuh binahong.

Ada Arens Saiya sakit setengah mati bila kencing di penjara Semarang. Di Nusa Kambangan, kebanyakan tapol RMS adalah anak-anak muda, umur 20-an tahun, biasa kerja sebagai petani, nelayan atau tukang ojek. Di Ambon, Jusuf Sapakoly, seorang tukang kayu, meninggal dunia dalam penjara karena tak mendapat pengobatan memadai, akibat siksaan-siksaan.

Belakangan saya tahu dari media, termasuk harian Sydney Morning Herald maupun laporan organisasi hak asasi manusia, Human Rights Watch dan Kontras, bahwa belum ada tindakan terhadap polisi yang terlibat penyiksaan di Ambon. Ini sebuah ketidakadilan dan ketidakbenaran.

Saya juga tidak kaget ketika Presiden RMS John Wattilete mengajukan gugatan hukum terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Den Haag. Pastilah aktivis-aktivis RMS geram terhadap berbagai macam siksaan pada anggota mereka, yang bikin aksi tanpa kekerasan, secara damai. Menari cakalele pun dilakukan dengan alat-alat kayu. Senjata mereka hanya kain bendera RMS warna merah, biru, hijau dan putih. Soal Wattilete memilih momen kedatangan SBY di Den Haag, saya kira, ini taktik dan advokasi yang efektif guna mengungkap berbagai kekerasan terhadap orang macam Teterisa dan Sinay.

Seharusnya masalah ketidakadilan dan ketidakbenaran diungkap. Ini kewajiban pemerintah Indonesia. Bukan bicara soal “harga diri” dan etika ketika esensi persoalan adalah pelanggaran hak asasi manusia. Harga diri akan tegak bila kemanusiaan tegak. Harga diri takkan tegak bila kemanusiaan tidak ditegakkan. Saya juga heran lihat tak banyak orang Indonesia  di Pulau Jawa memberi perhatian maupun bantuan kemanusiaan terhadap para tapol ini. Orang-orang Alifuru ini ditangkap, disiksa dan dipenjara berat tanpa meledakkan satu bom pun atau membunuh siapa pun. Mengapa nasib mereka tak diperhatikan?

No comments:

Post a Comment